Artikel

Mari Jadi Telinga, Pelindung, dan Pelukan untuk Anak : Dengar, Lindungi, Sayangi: Stop Kekerasan pada Anak

28 November 2025
DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA
97
Bagikan ke
Mari Jadi Telinga, Pelindung, dan Pelukan untuk Anak : Dengar, Lindungi, Sayangi: Stop Kekerasan pada Anak

Anak adalah harapan bangsa, generasi yang kelak menentukan masa depan Indonesia. Mereka bukan hanya penerus negeri, tetapi individu yang harus dijaga, dilindungi, dan dibimbing agar tumbuh dengan baik, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Namun, kenyataannya kekerasan kerap berasal dari orang-orang yang seharusnya memberikan rasa aman; orang tua, keluarga dekat, pengasuh, hingga guru. GambarMenurut Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, anak adalah setiap individu berusia dibawah 18 Tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. WHO juga menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak mencakup tindakan menyakiti fisik, emosional, seksual, pengabdian pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan tertentu. Seluruh bentuk kekerasan ini dapat mengancam keamanan, martabat, dan masa depan anak.

Fakta Singkat Kekerasan Terhadap Anak 
Kekerasan dapat terjadi di mana saja, di rumah, sekolah, atau lingkungan sekitar. Bahkan, 1 dari 2 anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan. Namun, sebagian besar dari mereka tidak melapor karena takut, malu, atau merasa tidak aman.

Dampak Kekerasan Terhadap Anak
1. Psikologis : Kekerasan membuat anak rentan trauma, depresi, dan kehilangan percaya diri
2. Fisik : Kekerasan fisik dapat menyebabkan luka, dan gangguan kesehatan. 
3. Pendidikan : Rasa tidak aman mengganggu konsentrasi, menurunkan prestasi, dan meningkatkan risiko putus sekolah
4. Sosial : Anak dapat menjadi agresif, tertutup, atau sulit berhubungan secara sehat. Ironisnya, banyak kekerasan terjadi di rumah oleh orang terdekat.

Mengapa Banyak Anak Tidak Berani Bicara? 
Banyak anak masih terasa aman untuk bersuara, takut disalahkan, khawatir akan dampaknya, atau merasa laporan mereka tidak akan direspons. Kondisi ini mengingatkan bahwa semua pihak harus hadir sebagai pendengar dan pelindung. Memberikan rasa aman agar anak berani bicara adalah tanggung jawab bersama, orang tua, keluarga, sekolah, lembaga sosial, media, hingga masyarakat. Dengan bergerak bersama, setiap anak dapat tumbuh tanpa rasa takut. 

1. Dengar Anak : Dengarkan cerita, keluhan atau isyarat anak tanpa menghakimi. Beri ruang aman agar mereka berani bersuara.
2. Laporkan Kekerasan : Segera laporkan ke pihak berwenang, layanan pengaduan, atau lembaga perlindungan anak.
3. Edukasi dan Kesadaran : Ajarkan anak tentang haknya, bagaimana mengatakan "TIDAK", dan siapa saja yang bisa mereka percaya.
4. Ciptakan Lingkungan Aman : Rumah, sekolah, tempat ibadah, dan lingkungan masyarakat harus menjadi ruang aman, ramah anak, dan bebas kekerasan.
5. Dukung Korban : Korban kekerasan membutuhkan pendampingan emosional, layanan psikolog, dan dukungan pendidikan untuk pulih dan kembali percaya diri. UU No. 23 Tahun 2002 juga menegaskan peran masyarakat dalam memantau, melindungi, dan menghentikan kekerasan terhadap anak.

Anak lahir untuk dicintai dan dilindungi, bukan disakiti. Kekerasan merusak masa kecil sekaligus masa depan bangsa. Jadi, tugas kita memastikan mereka aman untuk berbicara dan hidup, “Suara anak tidak boleh diam". Mari bersama mendengar, menyayangi, dan melindungi anak-anak Indonesia agar tumbuh menjadi generasi yang bahagia, percaya diri, dan siap memajukan bangsa.

Referensi : 
  1. DP3AK Provinsi Jawa Timur (2021). Bentuk Kekerasan Pada Anak dan Dampaknya. Diakses dari https://dp3ak.jatimprov.go.id/berita/link/21
  2. Indonesia Baik (2019). Dampak Kekerasan Terhadap Anak. Diakses dari https://indonesiabaik.id/motion_grafis/dampak-kekerasan-terhadap-anak
  3. Kemenpppa (2025). Menteri PPPA : Banyak Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Tidak Berani Melapor. Diakses dari https://www.kemenpppa.go.id/siaran-pers/menteri-pppa-banyak-perempuan-dan-anak-korban-kekerasan-tidak-berani-melapor 
  4. Universitas Gadjah Mada (2024). Psikolog UGM : Pelaku Kekerasan Anak Cenderung Punya Gangguang Kesehatan Mental. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/psikolog-ugm-pelaku-kekerasan-anak-cenderung-punya-gangguan-kesehatan-mental/
  5. Ombudsman Republik Indonesia (2023). Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak. Diakses diri https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkinternal--memutus-rantai-kekerasan-terhadap-anak

    Pengolah Informasi : Annisa Nurul Pratiwi

    Olah Grafis : Ibnu Pratama Wahyudin

    Instagram : dp3appkb.kotacirebon

Bagikan ke